Menebus Dosa Lingkungan di Gunung Penanggungan
Sebagai pendaki musiman, aku naik gunung hanya di momen-momen tertentu. Ketika ego di kota mulai naik pitam, ketika hampa melanda, ketika patah hati menampar tanpa aba-aba, atau ketika hidup rasanya kayak nasi basi; bau, tapi masih dimakan juga. Begitulah fungsinya gunung buatku: psikolog paling sabar yang nggak pernah nagih bayaran, dan aku pasien setianya.

Gunung selalu punya cara untuk menyembuhkan. Obatnya nggak dijual di apotek, nggak bisa diresepkan dokter. Kadang cukup diam, dengar burung ngetwit alami, dan lihat kabut turun pelan-pelan.
Tapi kali ini, 27 April 2025, pendakianku beda. Bukan cuma nyembuhin diri, tapi juga ikut merawat gunung. Bersama kawan-kawan dari Solidaritas Relawan Kemanusiaan (SRK), kami naik ke Gunung Penanggungan buat menanam bibit bambu. Gunung ini bukan tempat asing bagiku, tapi jalur yang kami ambil via Genting, lumayan bikin kaget. Jalurnya masih “hidup”. Banyak warga menggembala kambing, berkebun, bertani. Aktivitas yang membumi, harfiah dan harapan.
Sepanjang jalur, vegetasinya rapat dan udara sejuk seperti teh botol yang didinginkan doa. Ada aura sakral karena di lereng itu ada ‘Makam Sentono’, tempat peristirahatan seorang tokoh yang katanya panglima Majapahit. Meski belum yakin 100%, aku tetap kirim doa, sekadar menghormati yang lebih dulu sampai.

Bambu: Pohon yang Diam-Diam Tangguh
Bibit bambu yang kami tanam, sebenarnya punya cerita sendiri bagiku. Di rumah ibu, ada rumpun bambu yang tiap malam suaranya bikin bulu kuduk naik pelan-pelan. Magis dan menenangkan. Jadi waktu tahu pohon yang ditanam adalah bambu, rasanya seperti ketemu ibu dan teman lamaku.
Ternyata bambu bukan cuma kuat secara spiritual, tapi juga ilmiah. Akarnya lebat, bisa menahan longsor, dan menyimpan air tanah dalam jumlah besar. Bambu juga cepat tumbuh dan bisa dipanen berulang kali. Cocok buat manusia yang maunya instan tapi nggak mau rusak alam. Kalau udah panen, bambu bisa dijadikan kerajinan, alat musik, bahkan tiang rumah. Satu-satunya pohon yang nggak sombong padahal serbaguna. Dia nggak menantang badai, tapi juga nggak tumbang. Menunduk, lalu balik tegak. Kaya hidup ideal yang sering kita khotbahkan, tapi susah dilakukan.

Menanam di Hadapan Leluhur
Proses menanam di dekat makam Sentono terasa beda. Kami menggali lubang tiap tiga meter, menaruh bibit, lalu menguburnya, seperti doa: dimulai dari harapan, diakhiri dengan keyakinan. Aku pernah ikut banyak penanaman, tapi ini seperti menitipkan niat baik langsung ke tanah yang pernah disinggahi para leluhur. Rasanya lebih tenang, lebih dalam.
Aku sempat merenung. Mungkin dulunya Sentono ke sini juga untuk mencari tenang, seperti aku hari ini. Bedanya, beliau datang tanpa tahu istilah deforestasi, tapi beliau tahu cara menghormati tanah. Sedangkan kita? Tahu deforestasi, tahu krisis iklim, tahu pemanasan global, tapi masih tega buang sampah sembarangan dan menebang pohon buat alasan “pembangunan”.
Kita Mau Jadi Apa?
Menanam ini bukan soal pohonnya doang. Bukan juga soal gunung, atau rasa bersalah. Ini soal pilihan menjadi manusia. Manusia yang bukan sekadar penonton kehancuran, tapi mau ikut memperbaiki; meski kecil dan pelan.

Hari ini, aku bukan siapa-siapa. Tapi aku menanam. Dan hari ini, aku merasa cukup. Setidaknya tidak terlalu sia-sia menjadi manusia.
Satu pohon adalah sejuta napas. Dan satu napas yang kita selamatkan hari ini bisa jadi doa yang dikabulkan di masa depan.
By : Siti Sumriyah (Koordinator Gerakan GUSDURian Surabaya)

