Serunya Belajar Fotografi

Aku nggak terlalu suka dipotret. Demikian pula, aku nggak terlalu suka memotret. Tapi kadang aku harus melakukan keduanya. Itu konsekuensi kalau menjadi relawan: dokumentasi peristiwa bencana atau kegiatan relawan adalah wajib supaya masyarakat tahu dunia kerelawanan.

Nggak pernah terbesit apakah foto yang aku hasilkan sudah memenuhi kaidah potret-memotret. Aku nggak pernah mengerti tentang mencipta foto yang bagus atau foto yang sesuai dengan kaidah foto jurnalistik. Foto-foto yang aku potret sekadarnya aja: asal objeknya kena dan tersimpan baik di galeri, bagiku cukup.

Anggapanku keliru. Foto nggak boleh dibuat biasa, apalagi kalau foto-fotonya bermuatan peristiwa atau kegiatan penting. Misalkan penyaluran bantuan, pemberian dana, dan pembangunan sarana prasarana bagi penyintas. Paling nggak, aku harus mengerti teori dasar memotret supaya masyarakat yang memaknai foto tersebut nggak menafsir buruk.

Pucuk dicinta ulam tiba. Pada Minggu (7/9/2025), SRK mengadakan pelatihan fotografi dasar (baca: pemula) untuk relawan. Pembelajaran baru bagiku, dan juga (mungkin) bagi beberapa relawan.

Proses berlatih tampak antusias karena banyak dari kami fokus mendengar dan bertanya. Itu disebabkan materi yang diberikan berhubungan erat dengan kegiatan-kegiatan relawan kelak, misalkan tentang etika dan sensitivitas sebelum memotret saat berada di wilayah bencana.

“Perihal etika dan sentivitas perlu disadari dulu oleh relawan sebelum memotret,” kata pemateri. “Apakah yang mau dipotret adalah penyintas yang sedang berduka? Atau ada anak-anak di sekitarnya? Ataukah objek-objek milik pribadi (yang sebaiknya izin dulu)? Apakah dampak dari hasil potret tersebut? Dan sebagainya.”

Pembelajaran tentang etika dan sensitivitas dalam memotret bermanfaat juga bagi relawan yang gemar berswafoto dan mengunduhnya di media sosial, supaya lebih peka terhadap dampak-dampak yang akan ditimbulkan.

Aku baru mengerti kalau pada beberapa gawai terdapat pengaturan standar seperti yang ada pada kamera DSLR. Contohnya shutter speed, ISO, dan aperture. Ketiganya berfungsi bagai penunjang bagus tidaknya foto, dan membantu menyesuaikan dengan kebutuhan.

Sayangnya, gawaiku nggak punya pengaturan standar seperti DSLR. Tapi itu tak menyurutkan niatku untuk belajar fotografi. Aku masih bisa belajar hal lain, seperti komposisi foto dan angle foto. Dengan bekal dua hal itu, mungkin kelak aku bisa memilih mau memotret dengan komposisi yang presisi, framing, atau garis. Dan pastinya juga bisa memilih angle yang pas: low angle, eye angle, atau high angle, misalnya.

Satu hal lagi yang nggak kalah penting adalah soal caption foto. Kami belajar membiasakan untuk membuat caption foto. Tampaknya sepele, tapi nggak. Kalau Anda pernah melihat di internet foto-foto yang nggak jelas genealoginya, dan malah menimbulkan kekacauan serta berujung pada hoaks, bisa jadi itu dikarenakan nggak ada keterangan foto (caption).

Lantas, untuk menguji jalinan teori yang didapat, kami memotret menggunakan gawai masing-masing di sekitar tempat pelatihan. Peserta menerapkan teori yang sudah dipelajari, lalu kami membahasnya bersama-sama.

Pastinya, nggak ada hasil foto yang sempurna. Tetapi kebersamaan dan pembelajaran yang didapat pantas disanjung. Kalau sekarang terasa nggak bermanfaat, aku yakin di lain waktu semua pembelajaran pasti ada gunanya.

Fotografi, pada akhirnya, bukan cuma soal teknis. Ia adalah cara kita menghormati peristiwa, menghargai manusia, dan menyampaikan kebenaran. Dari balik lensa, aku belajar bahwa setiap jepretan adalah jejak yang bisa menjaga martabat atau justru melukainya. Maka, belajar fotografi bagi seorang relawan bukan sekadar soal gambar yang indah, melainkan juga tentang merawat kemanusiaan dalam setiap potret.

By : Darius Tri Sutrisno (Relawan SRK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *