Kita Tak Bisa Menghentikan Angin Tapi Bisa Belajar Mengatur Layar
Menjadi bagian dari proses pelatihan Skills for Psychological Recovery (SPR) bagi relawan kebencanaan adalah pengalaman yang menguatkan sekaligus mengharukan bagi saya. Kegiatan ini mengingatkan saya pada nilai-nilai kemanusiaan mendasar yang menjadi fondasi kerja-kerja kerelawanan. nilai-nilai yang tidak hanya penting dalam konteks kebencanaan tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia dalam jejaring sosialnya.

Saya menyadari bahwa esensi dari pelatihan ini bukan sekadar transfer pengetahuan teknis, melainkan juga upaya menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya keseimbangan antara membantu orang lain dan menjaga diri sendiri. Setiap kali melihat mata peserta yang bersemangat menyerap materi tentang manajemen stres atau regulasi emosi, saya teringat betapa relawan sering kali mengorbankan kesejahteraan psikologis mereka demi membantu penyintas. Di sinilah nilai kebaikan (benevolence)dankepedulian (care for others) benar-benar terasa, bagaimana teman-teman peserta dengan tulus ingin meringankan penderitaan orang lain, kadang tanpa memedulikan batasan diri sendiri. Sebagai fasilitator, saya berusaha mengingatkan diri sendiri dan teman-teman bahwa merawat diri bukanlah keegoisan, melainkan bentuk tanggung jawab agar mereka bisa terus memberikan bantuan yang berkelanjutan.

Selain itu proses fasilitasi ini juga mempertegas pentingnya tanggung jawab (responsibility)danpelayanan (service). Saya merasa memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa materi yang disampaikan tidak hanya teoritis, tetapi juga aplikatif di lapangan. Diskusi-diskusi dengan peserta memberi saya gambaran nyata tentang kompleksitas situasi kebencanaan. Teman-teman sering kali berhadapan dengan keterbatasan sumber daya, tekanan waktu, dan beban emosional yang berat. Oleh karena itu, saya berusaha menekankan bahwa SPR bukan hanya alat untuk membantu penyintas, tetapi juga bekal bagi mereka sendiri agar bisa tetap stabil secara mental di tengah situasi yang penuh ketidakpastian.

Tidak kalah penting kegiatan ini juga menjadi cermin bagi pertumbuhan pribadi (self-growth) dan ketahanan (resilience). Saya banyak terinspirasi oleh cerita-cerita peserta tentang bagaimana mereka menghadapi tantangan di lapangan dengan kreativitas dan tekad yang kuat. Ada relawan yang berbagi pengalaman tentang menghadapi kepanikan massal, ada pula yang bercerita tentang bagaimana mereka mengelola emosi setelah menyaksikan penderitaan penyintas. Dari mereka, saya belajar bahwa ketangguhan bukan berarti tidak pernah lelah atau rapuh, melainkan kemampuan untuk bangkit kembali dan terus bergerak maju meski dengan luka di hati.

Di akhir pelatihan, saya pulang dengan perasaan penuh syukur. Bukan hanya karena telah berbagi pengetahuan, tetapi juga karena mendapat kesempatan untuk menyaksikan langsung kekuatan harapan dan solidaritas di antara para relawan. Mereka mengajarkan pada saya bahwa di balik setiap bencana, selalu ada cahaya kemanusiaan yang tidak pernah padam, cahaya yang lahir dari tangan-tangan yang rela membantu tanpa pamrih, seperti sesi lilin harapan di malam hari pertama.

Sebagai penutup saya ingin mengutip kalimat yang sering terngiang dalam benak saya selama proses fasilitasi ini: “Kita tidak bisa menghentikan angin, tetapi kita bisa belajar mengatur layar.” Pelatihan SPR ini adalah salah satu cara untuk membekali relawan dengan layar yang lebih kokoh agar relawan tidak hanya bisa membantu orang lain, tetapi juga mampu merawat dirinya dalam kerelawannya. Terima kasih kepada semua peserta yang telah membuka hati dan pikiran, serta kepada semua pihak SRK yang mempercayakan saya untuk menjadi bagian dari kegiatan bermakna ini. Semoga ilmu yang dibagikan bisa menjadi bekal kecil untuk langkah-langkah besar kita semua berikutnya.
By : Dr. Listyo Yuwanto, Psikolog (Dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya)

