L3S #3 “Melangkah Bersama, Merawat Bersama”

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota yang tak pernah tidur, umat Katolik, Mahasiswa UINSA dan relawan dari Solidaritas Relawan Kemanusiaan berkumpul di halaman Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria, atau yang lebih dikenal sebagai Gereja Kepanjen, untuk melaksanakan sebuah kegiatan yang tidak biasa namun sarat makna: “Langkah Sehat Susur Surabaya”.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Solidaritas Relawan Kemanusiaan (SRK), bekerjasama dengan PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) Paroki Kepanjen dan didukung penuh oleh Romo Jauhari, pastor paroki yang dikenal aktif dalam pelayanan sosial dan lingkungan hidup. Acara ini menjadi bentuk konkret dari komitmen gereja dalam merawat bumi sebagai rumah bersama, sejalan dengan semangat ensiklik Laudato SI’ karya Paus Fransiskus.

Tepat pukul 19.00 WIB, suasana halaman gereja sudah dipenuhi peserta yang mengenakan pakaian olahraga santai, Sebelum memulai perjalanan, kegiatan diawali dengan pemanasan dan peregangan otot yang dipandu oleh tim relawan SRK. Suasana malam yang sejuk semakin menghangat oleh canda tawa dan semangat kebersamaan yang terpancar dari wajah-wajah peserta.

Team SRK menekankan bahwa kegiatan malam itu bukan hanya soal berjalan kaki atau memungut sampah, tetapi sebuahtindakan spiritual yang menghubungkan manusia dengan ciptaan Tuhan.

“Ketika kita berjalan dan membersihkan jalanan kota ini, kita sedang menyapa ciptaan Tuhan. Ketika kita menebar ikan di sungai, kita sedang menebar harapan. Ini bukan sekadar kegiatan fisik, ini adalah bentuk doa dalam langkah dan tindakan nyata,” tutur Romo Jauhari.

Setelah pengarahan, peserta dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil, masing-masing menerima dua kantong plastik berisi bibit ikan nila yang akan ditebar di sungai Kalimas JMP. Rute perjalanan dibagi ke dalam dua jalur kanan dan kiri jalan, menyusuri rute dari Gereja Kepanjen menuju kawasan Kota Lama Surabaya.

Sepanjang perjalanan, peserta memungut sampah yang mereka temui di trotoar, taman, dan sudut-sudut kota. Aktivitas ini bukan hanya menumbuhkan kesadaran ekologis, tetapi juga mengubah cara pandang banyak orang tentang relasi manusia dengan lingkungan bahwa kota bukan sekadar tempat tinggal, tapi ruang hidup yang harus dijaga bersama, peserta saling mengingatkan, membantu, dan berbagi cerita sepanjang perjalanan. Suasana malam itu penuh kehangatan dan solidaritas.

Sekitar 30 Menit berjalan kaki sambil membersihkan jalan, rombongan tiba di Jembatan Merah Plaza (JMP), salah satu titik ikonik yang melintasi Sungai Kalimas. Di sinilah puncak kegiatan dilangsungkan, penebaran 2.000 bibit ikan nila ke sungai sebagai bentuk kontribusi ekologis.

Secara bergantian, tiap kelompok melepaskan ikan-ikan kecil ke dalam air dengan penuh kehati-hatian dan harapan. Sungai yang selama ini sering dipandang kotor dan tak terurus, malam itu menjadi saksi dari niat tulus manusia yang ingin mengembalikan kehidupan ke dalamnya.

Romo Jauhari turut hadir dalam momen tersebut, menyampaikan harapannya agar tindakan kecil ini menjadi benih perubahan, tidak hanya untuk alam, tetapi juga untuk hati manusia.

“Bukan jumlah ikannya yang utama, tapi niat dan cinta kasih yang kita tebarkan ke dalam ciptaan Tuhan,” ujar Romo Jauhari di tengah hening malam yang hanya ditemani suara gemericik air dan doa dalam hati.

Setelah semua kelompok menyelesaikan rutenya, para peserta kembali ke Gereja Kepanjen untuk mengikuti sesi penutup berupa diskusi dan pemaknaan atas ensiklik Laudato Si’. Samping Gereja menjadi tempat refleksi yang hangat dan intim. Dengan suasana hening dan penuh permenungan, peserta diajak menggali kembali makna dari setiap langkah yang mereka ambil malam itu.

Dalam diskusi yang dipandu oleh tim SRK, muncul banyak cerita menarik. Ada yang baru pertama kali menyadari bahwa sampah sekecil puntung rokok pun bisa menyakiti bumi. Ada pula yang terinspirasi untuk melakukan kegiatan serupa di lingkungan tempat tinggalnya.

Team SRK menutup diskusi dengan mengajak semua peserta untuk tidak berhenti hanya pada kegiatan ini, tetapi menjadikannya gaya hidup baru sebuah spiritualitas ekologis yang mengalir dalam tindakan sehari-hari.

“Laudato Si’ bukan dokumen yang hanya dibaca, tapi harus dihidupi. Ketika kita berjalan sambil peduli, kita sedang memuliakan Tuhan lewat ciptaan-Nya,” tutup Romo dengan penuh harapan.

By : Dadik Kusmadi (Koordiv SRK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *