Menjadi Relawan Empatik, Rasional, & Solutif

Berdasar pada rilis badan amal dari Inggris, Charities Aid Foundation (CAF) di tahun 2023, Indonesia dianugerahi predikat sebagai negara yang paling dermawan. Survei yang dilakukan pada tahun 2022 tersebut (dan dirilis tahun 2023) melibatkan 147.186 responden dari 142 negara, dengan indikator utama (1) pengalaman membantu orang yang tidak dikenal, (2) donasi uang untuk amal, dan (3) kesediaan meluangkan waktu menjadi sukarelawan. Atas predikat itu, konsekuensi logisnya kemudian adalah (seharusnya) tidaklah susah menemukan individu-individu yang mau terlibat dalam kegiatan kesukarelawanan. Ternyata tidaklah demikian kenyataannya, jauh panggang dari api. Selain masalah organisasional dan kurangnya dukungan sosial, para relawan juga kerap kurang diberdayakan. Kesan yang kemudian berkembang adalah (seolah-olah) para relawan hanya dilibatkan pada saat dibutuhkan. Pada saat tidak dibutuhkan, para relawan dibiarkan begitu saja, seperti anak ayam yang tidak berinduk.

            Kegiatan yang dilakukan oleh Divisi Solidaritas Relawan Kemanusiaan (SRK), Yayasan Kasih Bangsa Surabaya pada 3-5 Mei 2024 di Misi Umat Vinsensian Indonesia mencoba menjawab kebutuhan tersebut. Di dalam dan melalui kegiatan tersebut, dan juga beberapa kegiatan yang sudah dan akan dilakukan, para relawan diberdayakan (capacity building). Dalam konteks kegiatan kesukarelawan, aktivitas itu dimaknai sebagai salah satu kegiatan penghargaan bagi para relawan (Volunteer Appreciation Event). Peserta yang dilibatkan adalah perwakilan kelompok dibawah naungan Romo-Romo CM serta Keuskupan Surabaya. Tema yang diangkat adalah menjadi relawan yang empatik, rasional, dan solutif.

            Empati adalah dasar yang harus dimiliki oleh para relawan, oleh sebab itu, menjadi individu yang empatik harus senantiasa dipupuk dan ditumbuhkembangkan, utamanya pada para relawan. Istilah lebih mendalam yang seringkali diajarkan adalah compassion atau biasa diterjemahkan sebagai belarasa (compassion, cum + patiri: ikut menderita), karena compassion memuat adanya empati, solidaritas, dan juga kepedulian. Empatik tidak sama dengan simpatik karena dalam kepribadian yang empatik dimuat kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan, pikiran, perbuatan, dan pengalaman orang lain. Artinya, dalam kepribadian empatik dimuat kemampuan untuk mengidentifikasi, menyimak, menganalisis, dan menghargai perasaan dan perbuatan orang lain, serta menunjukkan kepedulian dan pengertian terhadap mereka.

            Karakteristik empatik tersebut tidak berdiri sendiri. Karakteristik empatik tersebut harus diwujudnyatakan secara rasional dan solutif. Dalam konteks itu, karakteristik rasional dan solutif harus berdiri menemani karakteristik empatik (sehingga terbentuk karakteristik kepribadian yang empatik, rasional, dan solutif). Wujud nyatanya adalah berbagai rancangan intervensi yang terukur dan mampu menghadirkan pemecahan atas masalah yang dihadapi. Pada titik itu, para relawan hadir sebagai bagian dari solusi (bukan bagian dari masalah), dan solusi yang dimunculkan adalah berbagai rancangan intervensi yang memberdayakan (tidak menciptakan pola ketergantungan yang baru). Sangat jamak terjadi bahwa aktivitas kesukarelawanan berhenti hanya pada aktivitas karitatif yang kemudian justru memunculkan ketergantungan dan ketidakberdayaan baru. Pasti bukan pola tersebut yang (diharapkan dan) dihadirkan oleh para relawan. Para relawan harus hadir, bertumbuh, dan berkembang bersama para penyintas sampai para penyintas tersebut memiliki daya sendiri setelah para relawan tidak lagi terlibat bersama mereka. Berbagai aktivitas yang menuju ke arah pemberdayaan tersebut pastilah didisain secara rasional dan solutif, bukan sekedar kebetulan saja.

            Ketiga karakteristik tersebut bukanlah sesuatu yang tiba-tiba hadir dan mewarnai kepribadian para relawan. Pasti bukan. Bukan pula karakteristik itu langsung dimiliki oleh para peserta kegiatan (setelah kegiatan selesai). Artinya adalah bahwa kegiatan ini merupakan upaya penyadaran akan semangat dasar seorang relawan, yang HARUS ditindaklanjuti dengan kegiatan lain yang sejalan. Dalam konteks itu harus ditanamkan bahwa karakteristik kepribadian yang empatik, rasional, dan solutif tersebut harus dilatihkan, dibiasakan, dan dibudayakan. SEMOGA.

By : Gratianus Edwi Nugrohadi, S.S., M.A.

Dosen Fak. Psikologi, Unika Widya Mandala Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *